Esok aku kan mendapatimu menjemputku di stasiun. Aku kan disambut pelukan aroma sabun gatsby, aroma khas-mu tiap kali usai mandi. Mendekap tubuhku yg bau keringat dan dicumbui debu sepanjang perjalanan tadi.
Di bangku kereta yang berhadap-hadapan ini, aku berharap kau yang ada di hadapanku. Bukan mereka, wajah-wajah asing yang tak ku kenal. Agar ingatanku tentangmu dan aroma tubuh usai mandi itu tak hilang, aku sengaja memejamkan mata, sembari merapal doa, berharap agar kereta ini berjalan lebih cepat dari biasanya.
Esok aku kan mendapatimu menjemputku di stasiun. Kau pasti berharap hujan turun. Agar aku mengeluh kedinginan, dan kau dapat memelukku tanpa kebingungan. Di kaca jendela kereta, kulihat setitik demi setitik air langit mulai menggelayutinya. Doamu dikabulkan.
Seberapa tebalpun wajah ibu kota yang menempel di kaca mataku, tak pernah sanggup menandingi tebalnya ingatanku tentangmu, dan segenap kerinduan yang menggiringku kembali ke dekapanmu. Mungkin tanganku lelah menggenggam banyak hal, namun ada satu hal yang tak pernah lelah ku genggam, hatimu yang masih aku.
Esok aku kan mendapatimu menjemputku di stasiun. Tubuhku sudah mulai terbiasa dengan getaran yg dicipta kereta sepanjang perjalanan. Walau pagi ini aku sahur di dalam kereta, tak mengapa. Asal di hatimu masih aku yang bertahta. Dan nanti saat waktu berbuka tiba, pelukanmu adalah menu yang paling ku damba.
Selepas sahur, 2016
balesin puisi mas Ikal Hidayat Noor
Oya, yang pengen baca puisinya mas ikal bisa dicek di sini
Di bangku kereta yang berhadap-hadapan ini, aku berharap kau yang ada di hadapanku. Bukan mereka, wajah-wajah asing yang tak ku kenal. Agar ingatanku tentangmu dan aroma tubuh usai mandi itu tak hilang, aku sengaja memejamkan mata, sembari merapal doa, berharap agar kereta ini berjalan lebih cepat dari biasanya.
Esok aku kan mendapatimu menjemputku di stasiun. Kau pasti berharap hujan turun. Agar aku mengeluh kedinginan, dan kau dapat memelukku tanpa kebingungan. Di kaca jendela kereta, kulihat setitik demi setitik air langit mulai menggelayutinya. Doamu dikabulkan.
Seberapa tebalpun wajah ibu kota yang menempel di kaca mataku, tak pernah sanggup menandingi tebalnya ingatanku tentangmu, dan segenap kerinduan yang menggiringku kembali ke dekapanmu. Mungkin tanganku lelah menggenggam banyak hal, namun ada satu hal yang tak pernah lelah ku genggam, hatimu yang masih aku.
Esok aku kan mendapatimu menjemputku di stasiun. Tubuhku sudah mulai terbiasa dengan getaran yg dicipta kereta sepanjang perjalanan. Walau pagi ini aku sahur di dalam kereta, tak mengapa. Asal di hatimu masih aku yang bertahta. Dan nanti saat waktu berbuka tiba, pelukanmu adalah menu yang paling ku damba.
Selepas sahur, 2016
balesin puisi mas Ikal Hidayat Noor
Oya, yang pengen baca puisinya mas ikal bisa dicek di sini